Politik dan Pemilu 2019 #2: Review Debat Capres-Cawapres

Alhamdulillah saya diundang untuk menjadi moderator debat capres pertama ini, WKWKWK


Disclaimer:
Hasil review ini merupakan salah satu tugas kuliah saya pada matkul Komunikasi Politik yang diampu oleh Pak Gun Gun Heryanto, M.Si. Saya pikir, daripada tulisan itu hanya menjadi sekedar tugas saja, rasanya masih kurang bermanfaat karena sudah pasti beliau sebagai dosen tau isi dari tugas tersebut, sedangkan yang membutuhkan informasi ini adalah khalayak umum. Maka dari itu, saya berkeinginan untuk mempublikasikan tugas saya melalui blog ini, semoga bisa menjadi manfaat. Aamiin yaa Allah

Oh iya, review yang saya buat ini berdasarkan hasil review dosen saya sendiri, yaitu Pak Gun Gun yang dimuat dalam beberapa portal berita (Republika dan Media Indonesia). Jadi ini adalah ngereview hasil review yang di review oleh beliau 😅

Untuk melihat hasil review aslinya, temen-temen bisa cek link dibawah ini:

  1. Debat Pertama: Evaluasi Debat Capres Perdana
  2. Debat Kedua: Makna Debat Kedua
  3. Debat Ketiga: Peneguhan Narasi Calon Wakil Presiden
  4. Debat Keempat: Strategi Memikat Debat Keempat

(Review Debat Capres-Cawapres ini hanya sampai Debat Keempat, karena hingga tugas ini dibuat, belum terjadi/ belum jadwalnya debat kelima)

Satu lagi, kalau nanti melihat isi review saya agak ngawur atau terkesan seperti merangkum, mohon maaf dan semoga memaklumi yaa... Soalnya ngerjainnya juga kejar tayang wkwkwk

Selamat membaca!

_____________________________________


REVIEW DEBAT 1-4 CAPRES-CAWAPRES RI 2019 
DARI HASIL REVIEW PAK GUN GUN HERYANTO

DEBAT PERDANA, 17 JANUARI 2019
Debat Perdana ini menjadi gerbang pembuka kepada masyarakat untuk melihat diskusi antar paslon dan mengetahui visi misi masing-masing. Banyak respon yang diterima, baik itu pujian maupun kritikan, atau bahkan cacian. Memuji yang didukung dan mencaci pesaing dukungannya.

Orang-orang yang masih belum menentukan pilihannya atau swing voter membutuhkan adanya debat ini supaya bisa mendengar penjelasannya, juga membandingkan satu dengan yang lainnya. Inilah tugas yang harus dilakukan oleh kedua paslon untuk bisa mengambil hati masyarakat, karena debat menjadi bagian dari komunikasi persuasive yang dapat memengaruhi lingkungan politik.

Dari teori tindakan beralasan (Reasoned Action Theory) yang disampaikan oleh Pak Gun Gun, kita bisa tahu bahwa intensi atau niat melakukan dan tidak melakukan perilaku tertentu dipengaruhi oleh dua penentu dasar, yaitu berhubungan dengan sikap dan dengan pengaruh sosial, yaitu norma subjektif. Norma subjektif ini membuat masyarakat (khususnya yang fanatik) merasa bahwa yang didukungnya lebih benar, lebih unggul, dan ketika paslon nya melakukan kesalahan pasti akan mencari kebenaran hingga sesuai dengan apa yang diinginkannya dan yang dianggapnya benar. Resonansi informasi di berbagai media massa dan media sosial bisa menentukan siapa yang mengontrol narasi.

Peran media menurut Gaye Tuchman (1980) dapat menyusun realitas hingga membuat ‘cerita’. Karena bisa mengarahkan ke suatu narasi, banyak masyarakat yang membuat berbagai opini menurut cerita yang diinginkannya, dan pertarungan opini ini menjadi kekhawatiran pasca-debat yang perlu diwaspadai.

Sebelum forum debat capres perdana ini dilaksanakan, banyak informasi beredar yang mengatakan bahwa pada debat ini pihak KPU memberi kisi-kisi soal untuk pembahasan debat nanti. Ini merupakan model pertanyaan terbuka yang terjadi pada debat pertama, disusun melalui kisi-kisi 20 pertanyaan. Berdasarkan pengamatan Pak Gun Gun selaku pakar politik, ketika para paslon mengetahui pertanyaan terlebih dahulu, akan menciptakan mental blocking dan menjadi tidak lepas dalam menjawab. Hanya terfokus pada catatan-catatan yang dibawa, dan di sisi lain ada yang terdorong untuk fokus untuk mengingat bahan-bahan yang mau disampaikan.

Pada debat pertama ini, ada beberapa tema yang akan didebatkan, yaitu mengenai hukum, HAM, pemberatasan korupsi, dan terorisme. Substansi pesan pada perdebatannya kurang pragmatis, juga kurang proporsionalnya ulasan tentang HAM. Belum terlihat ada keinginan dari kedua belah pihak untuk menuntaskan kasus-kasus besar HAM. 

Manajemen forum debat menjadi salah satu yang juga perlu dievaluasi, pembagian ruang dalam berbicara tidak proporsional, dapat dilihat ketika Pak Jokowi lebih tampil dominan dibanding Pak KH Ma’ruf Amin. Kurangnya manajemen forum ini juga dapat dilihat ketika Pak Prabowo sering overtime.

DEBAT KEDUA, 17 FEBRUARI 2019
Debat kedua ini akan menjadi panggung antar capres, yaitu Pak Jokowi dari paslon 01 dan Pak Prabowo dari paslon 02. Panggung ini dapat dioptimalkan untuk meningkatkan opini positif pada dirinya dan meggoyahkan kepercayaan pemilih kepada pihak lawan. Debat kali ini pun tidak seperti debat sebelumnya yang menggunakan kisi-kisi, jadi ini membuat kesempatan bagi kedua capres untuk menyampaikan paradigma berpikir, orientasi persoalan, data penunjang, logika berpikir, sekaligus prioritas program untuk mengurangi masalah.

Kedua pihak mempunyai pendekatan yang berbeda, dimana Pak Jokowi bisa secara leluasa memaksimalkan elaborasi data dan program andalan pemerintah yang dia pimpin, sedangkan Pak Prabowo harus masuk menantang landasan paradigmatis pembangunan ala Jokowi yang selama ini kerap dikritiknya. Dan yang disayangkan, Pak Prabowo masih kurang optimal dalam memberikan solusi terhadap apa yang ia kritik, dan memberikan alternatif kebijakan untuk lima tahun kedepan. 

Khalayak bisa menikmati sajian narasi jika debat berlangsung interaktif dan menyentuh substansi atau emosi yang diharapkan. Atau, sebaliknya bosan karena tampilan para capres menjemukan. Dalam konteks situasi seperti itu, penting manajemen opini publik terutama dalam strategi membangun koorientasi pada khalayak. Koorientasi terjadi saat dua orang atau lebih yang tadinya baru mengenal atau berada di fase orientasi, akhirnya bersepakat dengan isu, gagasan, program, atau kebijakan yang ditawarkan. Seseorang yang mampu tampil prima dalam mengontrol narasi, dialah yang berpotensi memenangi pertarungan opini. Saat debat, para kandidat perlu mematangkan data dan menguatkan logika. Namun, manajemen opini setelahnya juga sangat diperlukan agar narasi tidak mengalami distorsi.

DEBAT KETIGA, 17 MARET 2019
Debat ketiga yang dilakukan oleh kedua cawapres ini membahas isu pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, serta sosial dan kebudayaan. Hal ini menjadi momentum orientasi pemilih karena isu-isu ini lebih sering melekat dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Debat cawapres menjadi panggung pembuktian untuk memastikan bahwa capres bukan sekadar penggembira atau pelengkap semata.

Masyarakat punya ketertarikan yang tinggi terhadap debat cawapres ini karena masyarakat penasaran dan ingin tau bagaimana peran cawapres dalam mengatasi masalah-masalah ini. Sosok Pak Joko Widodo dan Pak Prabowo Subianto, sebagian besar publik sudah memiliki referensi terhadap mereka sejak pemilu 2014 lalu. Perjumpaan Pak KH Ma’ruf Amin vs Pak Sandiaga Uno di panggung debat kali pertama inilah yang menjadi fase orientasi rakyat Indonesia terutama pemilih secara lebih komprehensif atas gagasan, program, peran, dan prospek leadership mereka jika terpilih sebagai cawapres.

Proses orientasi menekan pada tiga indikator, yakni kemenonjolan (salience), relevansi (partinance), dan predisposisi atau preferensi. Kemenonjolan perasaan tentang pasangan kandidat yang berasal dari pengalaman pemilih di situasi sebelumnya. Pak KH Ma’ruf Amin menonjolkan isu penting di berbagai bidang, bidang kesehatan dengan Jaminan Kesehatan Nasional dan Program Keluarga Harapan, bidang pendidikan dengan Kartu Indonesia Pintar, dan bidang-bidang lainnya. Sementara itu, Pak Sandiaga Uno berkali-kali meneguhkan kata-kata kunci yang kerap diulang di beberapa segmen, antara lain, di bidang kesehatan dalam 200 hari masa kerja Prabowo-Sandi jika terpilih akan menyelesaikan masalah tata kelola BPJS, di bidang pendidikan, Sandi menekankan pada pembangunan ekosistem riset, dan bidang-bidang lainnya.

Nilai relatif dari pasangan berdasarkan perbandingan posisi (penantang dan petahana), juga perbedaan gaya serta cara mereka yang terbangun sejak lama. Pak KH Ma’ruf Amin meski saat ini bukan wakil presiden, tetapi melengkapi paket tiket Jokowi yang menjadi petahana. Maka sangatlah wajar, jika tadi malam banyak memberi narasi peneguhan tentang implementasi, cerita sukses, apresiasi dari apa yang sudah dilakukan Jokowi. Sebagai penantang, Pak Sandiaga Uno tampak sekali ada hambatan psikologis dalam proses mengembangkan relasi kuasa sebagai pendebat dari pihak penantang. Hal ini bisa jadi disebabkan strategi untuk bermain lebih santun, lebih memberi sentuhan afeksi, serta seni beretorika yang tidak verbal agresif. Mengingat posisi KH Ma’ruf Amin sebagai senior, ulama, dan tokoh dari organisasi Islam paling besar di Indonesia, yakni NU.

Preferensi menyangkut kerangka referensi evaluatif (kepentingan dan nilai), kognisi pemilih, afeksi dan niat perilaku. Dalam konteks debat cawapres, sesungguhnya tidak akan mengubah banyak perubahan pilihan di masyarakat.

Kondisi debat di panggung berjalan cukup membosankan dan monoton, tidak ditemukan hal baru yang menjadi ketertarikan. Pak Sandiaga Uno yang berposisi menjadi penantang, sepertinya mengembangkan strategi aman dengan tidak mengambil cara verbal agresif. 

DEBAT KEEMPAT, 30 MARET 2019
Debat keempat ini kembali dibawakan oleh kandidat capres, yaitu Pak Jokowi dan Pak Prabowo membahas tema ideologi, pemerintahan, pertahanan dan keamanan, serta hubungan internasional. Dilihat dari gaya komunikasinya, Pak Prabowo tampak berupaya sekali menjaga ritme dalam berkomunikasi. Diksi-diksi yang diproduksi dalam membungkus narasi banyak yang diperhalus dan mengedepankan sisi lain Prabowo yang lebih humanis. Sementara itu, Jokowi, di debat perdana dan kedua banyak mengambil inisiatif membuka dialektika, mengajukan pertanyaan menohok, dan jawaban yang membuat suasana terutama di debat kedua cukup menghangat.

Mereka berdua kembali ke gaya masing-masing dan berupaya tampil maksimal sesuai dengan karakternya. Pak Jokowi tampak berusaha menampilkan penghormatan pada lawan, meskipun diserang sejak segmen pembukaan lewat pernyataan Pak Prabowo soal praktik jual-beli jabatan di pemerintahannya. Bahkan, saat segmen empat dan lima pun Pak Jokowi tampak mengontrol dirinya untuk tidak asertif. Intonasi suara yang cenderung datar dan stabil, gestur cukup rileks, reaksi atas serangan Pak Prabowo juga tampak tidak berlebihan.

Sementara itu, Pak Prabowo tampak berapi-api, memaksimalkan serangan, dan berupaya all out dengan gaya aslinya, yakni dinamis (dynamic style). Gaya ini bersifat agresif, asertif, bicara blakblakan, dan cenderung sangat berorientasi pada hasil akhir.

Dalam banyak hal, gaya itu juga sering menggunakan diksi-diksi yang cenderung agitatif. Hampir di semua segmen Pak Prabowo menyerang Pak Jokowi, kecuali di segmen penutup dan segmen awal saat membahas ideologi Pancasila yang mana mereka saling melempar pujian dan apresiasi.

Yang menarik dari cara memikat dukungan para pemilih yang masih bimbang dan pemilih yang belum menentukan pilihan oleh Jokowi dan Prabowo di panggung debat ialah benang merah pesan-pesan kunci (key messages). Pak Jokowi selaku petahana berulang-ulang menyampaikan cerita sukses (succsess story) pemerintahanya, sedangkan Pak Prabowo lebih ke pendekatan supremasi.

_____________________________________


Mari telusuri konten Pemilu 2019 lainnya disini:

  1. Politik dan Pemilu 2019 #1: Berada Di Tengah
  2. Politik dan Pemilu 2019 #2: Review Debat Capres-Cawapres
  3. Politik dan Pemilu 2019 #3: Arah Harapan Ustadz Abdul Somad
  4. Politik dan Pemilu 2019 #4: Alasan Kurangnya Partisipasi Masyarakat Terhadap Pemilihan Calon Legislatif

Share:

0 komentar